DELISERDANG, Sumutpost.id – Ratusan warga Gang Rasmi Desa Bangun Sari, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deliserdang melakukan pemblokiran akses masuk dan keluar wilayah mereka, Senin (30/12/2024). Hal itu mereka lakukan menyusul adanya beberapa orang mengaku dari instansi tertentu melakukan pencocokan ukuran lahan, yang selama puluhan tahun ini sudah mereka kuasai.
Dalam aksi itu, ratusan warga di sana turun ke jalan dan mendesak pemerintah segera memberantas mafia tanah yang sudah ‘meransek’ ke mana-mana, termasuk lingkungan mereka. Dalam aksi yang berlangsung panas itu, warga setempat menutup akses masuk ke lokasi mereka dari beberapa arah.
Kemudian di sebuah rumah, mereka juga mengerubungi beberapa orang yang mereka tuduh sebagai pengkhianat atas upaya memperjuangan lahan. Di halaman rumah itu, suasana tidak kalah panasnya. Di mana kaum ibu berteriak-teriak minta dibunuh saja, daripada lahan tempat mereka tinggal selama puluhan tahun dirampas.
Catut Bravo 5
Warga juga tampak meneriaki seorang wanita berambut putih, mengaku asal Jakarta. Wanita itu mengaku datang ke lokasi itu hanya untuk melihat-lihat. Bahkan ia sempat menyebut beberapa nama, termasuk Luhut Panjaitan dan Bravo 5.
Ketika ditanyakan apa hubungannya dengan Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Panjaitan, wanita itu malah menyuruh supaya bertanya langsung ke pusat. Pun saat warga menanyakan siapa nama lengkapnya, ia terlihat agak gelagapan dan tidak mau menyebutkan.
Tampak juga di tengah kerumunan warga, Ketua LBH DPP HBB (Horas Bangso Batak) Tomson Marisi Parapat SH melakukan orasi, di antaranya mengecam tindakan tidak manusiawi oleh oknum-oknum yang ia sebut sebagai mafia tanah.
Ia menegaskan, bahwa warga di sana, sama sekali tidak tahu-menahu soal sengketa lahan antara PTPN II dengan beberapa orang mengaku warga setempat. “Warga tidak pernah tahu, antara siapa dengan siapa yang bersengketa. Tapi tiba-tiba saja lahan yang sudah mereka kuasai puluhan tahun, menjadi objek sengketa. Ada apa ini,” katanya.
Ketua DPD HBB Sumut ini juga menjelaskan, bahwa hanya ada lima oknum warga setempat ikut dalam sengketa. Sementara ada 400 lebih kepala keluarga ada di sana dan sudah puluhan tahun menguasai lahan tersebut.
“Artinya, ada mafia yang bermain dalam persoalan ini,” tandasnya.
Di tengah situasi yang semakin panas, beberapa oknum yang datang ke sana, kemudian meninggalkan lokasi. Sedangkan warga tetap berjaga dan sebagian lagi menuju ke Kantor Desa Bangun Sari.
Kumpulkan Data
Di kantor desa, Kades Bangun Sari Muhammad Rivai pun menyambut kedatangan warga dan menerima beberapa perwakilan di kantornya. Pada kesempatan itu, perwakilan warga bersama kuasa hukum mereka, Tomson Marisi Parapat, menyampaikan beberapa permohonan. Di antaranya adalah, agar kepala desa turut mendukung perjuangan mereka.
Kemudian Tomson Marisi Parapat mengutarakan, salah satu yang bisa kades berikan untuk mendukung perjuangan warganya adalah dengan mengeluarkan SKT (surat keterangan tanah). Di mana yang menjadi sorotan adalah, bahwa yang sedang bersengketa di lahan itu, tentu punya SKT.
Lalu, bagaimana warga luar Bangun Sari bahkan Deliserdang bisa memiliki SKT di Desa Bangun Sari, sedangkan warga setempat malah tidak punya? Sebab, lanjut mereka, yang mengaku menang dalam sengketa lahan itu, hanya lima yang warga setempat. Lainnya, bukan warga setempat, bahkan ada dari Tanah Karo.
“Kami ini punya KTP di wilayah yang Bapak pimpin,” ungkap warga.
Menanggapi permintaan warga, Kades Rivai mengatakan, bahwa ia akan tetap berada di pihak rakyatnya. Ia pun menginstruksikan anggotanya untuk segera melakukan pendataan terhadap semua warga yang menguasai lahan di Jalan Rasmi/Salam Tani Desa Bangun Sari tersebut.
“Kami pihak desa memahami ini. Mudah-mudahan apa yang dibawa masyarakat, diminta masyarakat nanti akan kami koordinasikan sesuai data yang kami minta. Bahwasanya Bapak Ibu sudah menguasai lahan tersebut berpuluh tahun. Data itulah yang akan menguatkan masyarakat. Jadi nanti saya akan koordinasi baik dari dari kecamatan ke kabupaten bahkan ke pengadilan. Karena terus terang, saya adalah kepala desa baru dan belum memahami bagaimana regulasi tentang tanah garapan,” urainya.
“Jadi saya berharap masyarakat bersabar dan menunggu hasil keputusan yang nanti akan saya sampaikan kepada kuasa hukum Bapak Ibu sekalian dan Pak Eko. Mungkin itu saja yang dapat saya berikan. Sekali lagi saya mohon maaf atas ketidaknyamanan masyarakat saya semua,” tutupnya di hadapan perwakilan warga.
Berdarah-darah
Kepada media warga mengungkapkan, ada pihak-pihak lain yang berupaya mengklaim lahan yang sudah mereka kuasai sejak puluhan tahun lalu.
“Kami tidak tahu-menahu soal adanya perkara atas lahan yang sudah kami usahai sejak puluhan tahun ini. Untuk itu kami hadir di sini untuk minta perlindungan dari kepala desa. Dan juga minta agar jangan ada eksekusi. Kalau sempat ada eksekusi, maka kami siap berdarah-darah mempertahankan apa yang sudah kami perjuangkan selama ini,” kata warga tersebut.
Terpisah, Tomson M Parapat SH menguraikan riwayat tanah tersebut. Di antaranya menyebutkan kurang lebih 500-an Kartu Keluarga (KK) sudah menguasai lahan sejak tahun 1998. Tapi kemudian tidak dilibatkan alias tidak tahu-menahu soal perkara, tiba-tiba sudah ada yang akan mengeksekusi.
“Diduga kuat ada permainan mafia tanah. Kami juga menduga adanya dokumen palsu dalam proses pengadilan,” tandasnya. (msp)