OPINI  

Ganja dan Kemunafikan

SUATU masa di waktu lalu, Indonesia heboh karena ada wacana ekspor ganja. Sebenarnya, tak ada yang aneh, kalau dilihat, bahwa ganja memang tumbuhan yang bisa dijadikan obat. Yang jadi masalah adalah, kemunafikan dan standar ganda yang saat ini sudah menjadi ciri khas Warga Negara Indonesia, siapa pun dia.

Kalau saya pribadi, minuman beralkohol, ganja, judi, bahkan prostitusi, bukanlah pelanggaran hukum, sepanjang tidak mengganggu kepentingan dan ketenangan orang lain. Adalah hak saya untuk ‘ngisap’ ganja atau ‘main’ dengan PSK, misalnya dan negara melalui tangan hukumnya tidak berhak mencampuri urusan pribadi saya. Yang penting, saya tidak mengganggu ketertiban umum dan tidak merugikan orang lain. Kalau ada yang merasa dirugikan dengan tindakan saya itu, bisa membuat gugatan, tentu saja dengan alasan yang jelas berkaitan dengan ketergangguan dia. Gugatan bukan karena menganggap saya berdosa. Tapi karena merasa terganggu atau dirugikan.

Lalu apakah prostitusi, dan sejenisnya dosa? Itu jelas. Dan tentu saja sudah ada ranah yang mengatur itu, yakni, kepercayaan kita masing-masing kepada Sang Pencipta. Dan oleh karena kepercayaan kepada Sang Pencipta itulah, maka siapa pun kita, tentunya harus berpikir sebelum melakukannya. Kita semua punya janji dan keterikatan kepada Sang Pencipta, untuk menjauhi semua larangannya. Kalau kita ingkar, maka ada konsekuensi, sesuai dengan kepercayaan kita. Jadi sekali lagi, bukan ranah negara menentukan itu dosa atau tidak, lalu menghukumnya.

Ganja dan Selera

Kembali ke masalah ganja. Seperti saya katakan di atas, tak ada yang aneh dengan wacana ekspor ganja. Yang jadi masalah adalah, di negara kita banyak manusia munafik dan berstandar ganda.

Kita tahu, semua orang di Indonesia rata-rata menganggap ganja adalah tumbuhan haram. Dan sebagian besar kita akan sepakat menyebut, ganja itu haram, apakah karena pengaruh hukum negara yang sudah tertanam, atau ajaran agama, entahlah…

Tapi ketika ada kader sebuah partai (kita sebut Partai Putih) memunculkan wacana ekspor ganja, maka dukungan pun datang dari politisi yang satu barusan. Baik itu yang sesama Partai Putih maupun lain partai, yang tentunya masih satu kepentingan politik. Mereka yang dulunya mengharamkan ganja, jadi ikutan mendukung dengan segala dalil pembenaran. Mereka jadi lupa bagaimana sebelumnya sangat mengharamkannya, juga dengan banyak dalil. Tapi karena kawan politik yang ngomong, maka akan didukung.

Sementara lawan politik partai tadi (sebut saja Partai Merah), akan menjadikan itu (wacana ekspor ganja), sebagai ‘martil’ untuk menghantam, tentunya juga dengan segala dalil.

Lalu, andai kader Partai Merah lah misalnya yang mengeluarkan statemen tadi (setuju ekspor ganja), apakah mereka yang tadinya setuju ekspor ganja (Partai Putih dkk) juga akan mendukung…? Tentu saja tidak. Akan keluar pula dalil-dalil menentang. Lalu, apakah kawan-kawan Partai Merah yang tadinya menentang ekpor ganja saat diwacanakan Partai Putih akan tetap konsisten? Hampir bisa saya pastikan, mereka juga akan berubah pikiran mengikuti apa kata kawan sebarisan dan lagi-lagi dengan dalil-dalil yang disesuaikan dengan selera.

Begitulah kita…!